Sertifikasi menjadi fenomena yang sugestif di kalangan para guru. Terlebih guru yang bertugas di daerah. Dengan iming-iming dapat tunjangan sebesar gaji pokok, membuat mereka merajut banyak mimpi. Di antaranya "Jika saya sudah bersertifikasi, saya akan berangkat Haji"! kata pak Umar. Berbeda dengan pak Udin "Kalau saya dapat tunjangan sertifikasi, saya akan beristri lagi, karena istri pertama.....". Celetuknya. "Kalau saya sich, untuk ngongkosin anak kuliah yang saat ini baru semester 3 di salah satu perguruan tinggi". Ungkapnya penuh semangat. Dan masih banyak lagi mimpi-mimpi para Umar Bakri. Tidak salah memang! Tetapi ada yang lebih dari itu yakni kembali ke hakikat pemberian tunjangan sebagaimana yang diamanatkan undang-undang tentang guru dan dosen.
Kalau demikian, apakah makna sebenarnya dari pemberian tunjangan sertifikasi itu? Bukankah dengan pemberian tunjangan yang besar itu diharapkan agar Guru semakin profesional? Perhatian terfokus pada tugas profesionalismenya. Pada kenyataannya memang banyak guru penerima sertifikasi yang mengabaikan kewajibannya setelah menerima hak-hak sertifikasi. Kurangnya kesadaran, tanggung jawab moral, serta lemahnya pengawasan terkadang menjadi penyebabnya. Profesionalisme jadi dipertanyakan. Apakah mereka yang memegang sertifikat profesionalisme menjadi tolok ukur mereka lebih terampil dibandingkan dengan yang belum memilikinya? Apakah mereka lebih bertanggungjawab dibandingkan guru-guru yang belum bersertifikat? Disinilah akar masalah yang musti segera diselesaikan oleh semua pihak yang berkompetensi dalam hal ini. kecemburuan sosial para guru sering menimbulkan problematika yang dilematis..
Mudah-mudahan semangat mereka mengikuti sertifikasi sebanding dengan semangat dalam mengemban tugas dan amanat negara untuk mengabdikan dan medidikasikan diri untuk kemaslahatan ummat dan negera....